Cari Blog Ini

Kamis, 08 Desember 2011

BERBAGI UNTUK ANAK NEGERI


Dalam kehidupan di pedesaaan lereng Gunung Merapi sangat dekat dengan buta huruf. Hal ini terbukti dengan data 80 %  masyarakat dilereng merapi tidak bisa membaca dan menulis. Masyarakat menjalani kehidupan dengan bercocok tanam dan berternak di lahan di sekitar lereng. Medan secara geografis yang begitu sulit untuk dijangkau dan berada pada ketinggian yang jauh dari keramain informasi dan teknologi menjadikan masyarakat di lereng merapi ini hanya sekedar menjalani sebuah kehidupan. Dari kultur budaya yang sangat sederhana dan hanya memikirkan jangka pendek dalam kehidupan mereka. Jarang dari mereka memikirkan bagaimana kehidupan esok hari agar lebih baik. Sehingga yang terjadi dimasyarakat kemiskinan yang terstruktur dalam keturunan mereka.
Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena hingga kini belum bisa dientaskan dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia[1].
 Kemiskinan dalam sebuah keluarga merupakan permasalahan kemanusiaan purba, yang bersifat laten dan aktual sekaligus. Kemiskinan telah ada sejak peradaban manusia ada dan hingga kini masih menjadi masalah sentral di belahan bumi manapun.
Kemiskinan dalam keluarga merupakan faktor dominan yang mempengaruhi persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, ketelantaran, kematian dini. Masalah buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia (human trafficking) tidak bisa dipisahkan dari masalah kemiskinan.
Dalam hal pendidikan masih sangat minim, untuk mancapai pendidikan menengah, mayoritas masyarakatnya tidak berpendidikan, jika ada yang berpendidikan bagi generasi   kedua hanya samapai sekolah dasar dan menengah pertama, setelah menyelesaikan itu bagi anak anak terus membantu orang tua di lading atau mencari rumput untuk ternaknya.
Dari feniomena diatas maka ada program pemberantasan buta huruf. Namun  pemberantarsan buta hurufpun belum akan mengeluarkan mereka dari jeratan kemiskinan. Karena target dari program itu  hanya sekedar masyarakat  bisa baca. Maka melalui instasi terkait didirikanllah Taman Bacaan Masysrakat, yang diharapkan dapat membantu masyarakat di sekitar  lereng merapi memperoleh pengetahuan sehingga diharapkan dapat keluar dari jeratan kemiskinan
Namun pada kenyataannya program hanya sekedar program, yang belum pernah ada evaluasi dari pemerintah berkaitan dengan taman bacaan masyarakat. Taman Bacaan Masyarakat tetap sepi dari pengunjung, masyarakat enggan memanfaatkannya, masyakrakat lebih menghabiskan waktunya untuk bercocok taman diladang dan merumput di lereng pegunungan
Maka untuk menselaraskan antara taman bacaan masyarakat dengan program pemberantasan buta huruf  dan mengentaskan kemiskinan masyarakat ini perlu adanya pendekatan dan kajian antropologis. Tanpa kita menggunakan pedekatan tersebut masyarakat akan tetap pada pendiriannya adalah menhabiskan waktunya diladang dan merumput di lereng pegunungan.
Untuk itu perlu  diakukan penelitian pendekatan antropologis agar masyarakat mengetahui dan manfaat minat baca melalui Taman Bacaan Masyarakat untuk kehidupan mereka yang dapat membantu kelaur dari jeratan kemiskinan




[1] Alfian, Gejala perubahan sosial, ( Bandung : Alfabeta, 2000), hal 13

1 komentar:

  1. Target pemberantasan buta hruruf adalah agar masayarakat bisa baca, jika memang ,masayrakat bisa membaca dengan baik dan benar itu akan membuat mereke keluar dari jerat kemiskinan. Contohnya bisa membaca jika akan ditipu...sehingga tiadak ada program-program pemberdayaan masayrakat yang berupa program tipuan. Smoga Indonesia Bisa Mambaca......dari http://djokoprasety.blogspot.com

    BalasHapus